Investor Soroti Lonjakan Utang Negara Group of Seven, Risiko Fiskal Kian Nyata

Dipublish oleh Tim Towa | 04 Juni 2025, 11.40 WIB

Investor Soroti Lonjakan Utang Negara Group of Seven, Risiko Fiskal Kian Nyata
foto: Shuttetrstock

Towa News, Jakarta - Pasar keuangan global mulai menunjukkan tanda kegelisahan terhadap kondisi fiskal negara-negara maju anggota G7. Kekhawatiran itu mencuat seiring sinyal tekanan dari Amerika Serikat, Jepang, hingga Inggris, yang utangnya semakin membengkak dan mulai mengguncang kepercayaan investor.

Lembaga pemeringkat Moody’s mempertegas sinyal tersebut dengan menurunkan peringkat outlook kredit Amerika Serikat menjadi “negatif” pada akhir 2024, menandai sinyal bahwa kredibilitas fiskal negara adidaya itu sedang dalam sorotan.

“Retakan di pasar obligasi sudah terlihat. Ini bukan hanya masalah defisit, tapi soal kepercayaan yang mulai luntur,” tegas Jamie Dimon, CEO JP Morgan, dalam wawancaranya dengan Bloomberg, awal 2025.

AS dan Jepang Jadi Titik Genting

Amerika Serikat menghadapi tekanan serius setelah aksi jual besar-besaran terhadap obligasi pemerintah pada April 2025. Penyebabnya, antara lain, ketidakpastian soal arah kebijakan fiskal pasca-Presiden Donald Trump kembali berkuasa. Committee for a Responsible Federal Budget (CRFB) menyatakan bahwa usulan pemangkasan pajak Trump dapat menambah utang sebesar US$3,3 triliun pada 2034 jika tidak disertai pemangkasan belanja.

Sementara itu, Jepang yang dikenal dengan utang publik terbesar di antara negara maju — lebih dari 260% terhadap PDB — kini mulai merasakan tekanan pasar. Lelang obligasi 20 tahun Jepang pada Mei 2025 menjadi yang terburuk sejak 2012, dengan permintaan yang sangat lemah.

Kepala Strategi Pasar Nordea, Jan von Gerich, dalam keterangannya kepada CNBC International, menyebut, “Lelang yang lemah di Jepang adalah gejala dari sesuatu yang lebih dalam di bawah permukaan.”

Kepemilikan obligasi oleh Bank of Japan (BoJ) juga mengalami penurunan untuk pertama kalinya dalam 16 tahun terakhir, memunculkan kekhawatiran bahwa dukungan domestik terhadap utang pemerintah juga mulai menipis.

Inggris, Prancis, Italia: Masih Rawan Meski Stabil

Di Inggris, utang pemerintah telah mendekati 100% dari PDB, dengan imbal hasil obligasi pemerintah jangka panjang tetap tinggi di atas 5%. Menurut analis pasar dari BNP Paribas, Sam Lynton-Brown, dalam wawancara dengan Financial Times, “Jika Bank of England menghentikan program penjualan obligasi lebih awal, pasar akan menyambut positif.”

Sementara itu, Prancis mulai menunjukkan sedikit perbaikan pasca-ketidakpastian politik 2024. Risk premium obligasi Prancis terhadap Jerman menurun dari 90 menjadi 66 basis poin per Mei 2025 (data Bloomberg), tetapi risiko masih mengintai.

Eliezer Ben Zimra, manajer obligasi di Carmignac, memperingatkan, “Prancis belum menunjukkan perbaikan apa pun dalam rasio utang sejak krisis COVID-19,” ujarnya kepada Le Monde (April 2025).

Italia justru mencatat progres positif. Defisitnya turun dari 7,2% pada 2023 menjadi 3,4% pada 2024, dan diproyeksikan mencapai 2,9% pada 2026. Selisih yield obligasinya terhadap Jerman menyempit ke bawah 100 basis poin — terendah sejak 2021.

“Stabilitas politik dan reformasi fiskal membuat investor semakin melirik Italia,” ujar Kenneth Broux, analis di Societe Generale, dikutip dari Bloomberg Markets, Mei 2025.

IMF: Dunia di Ambang Risiko Fiskal Global

Laporan terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic Outlook April 2025 menyebut, rasio utang global kini mencapai 92% terhadap total PDB dunia, naik signifikan dari masa pra-pandemi.

“Jika tidak ada penyesuaian fiskal, negara-negara G7 bisa memicu tekanan sistemik baru di pasar global,” tulis IMF dalam laporannya.

 

Krisis utang belum menjadi skenario utama, namun indikasi-indikasi awal mulai muncul. Penurunan minat investor terhadap lelang obligasi, lonjakan biaya pinjaman, hingga peringatan dari lembaga keuangan dunia menunjukkan bahwa risiko fiskal tidak lagi bisa diabaikan.

Jika negara-negara G7 terus mengandalkan utang sebagai sumber utama pembiayaan tanpa reformasi fiskal serius, pasar bisa membalas dengan lebih keras: lewat aksi jual, kenaikan yield, dan tekanan terhadap stabilitas ekonomi global.

 

Sumber :

  • Bloomberg (April–Mei 2025)

  • Moody’s Investor Service, Outlook AS (Desember 2024)

  • Committee for a Responsible Federal Budget (www.crfb.org, 2025)

  • CNBC International, wawancara Jan von Gerich (Mei 2025)

  • Financial Times, komentar BNP Paribas (Mei 2025)

  • Le Monde, wawancara Eliezer Ben Zimra (April 2025)

  • Bloomberg Markets, laporan Societe Generale (Mei 2025)

  • IMF World Economic Outlook, edisi April 2025

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video