Dipublish oleh Tim Towa | 02 Juli 2025, 11.22 WIB
Towa News, Jakarta - Gelombang protes dan kekecewaan melanda sejumlah partai politik di Indonesia menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal pelaksanaan pemilu nasional (pemilihan presiden, DPR, DPD) dengan pemilu daerah (pemilihan kepala daerah dan DPRD) mulai tahun 2029. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai NasDem, Partai Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara serentak menyuarakan keberatan mereka, menuding MK telah melampaui kewenangan dan berpotensi melanggar konstitusi.
PKS: MK Ambil Alih Peran Pembentuk Undang-Undang
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menyatakan keheranannya terhadap putusan MK. Ia menilai keputusan tersebut seolah mengambil alih kewenangan pembentuk undang-undang, khususnya terkait pemisahan jadwal pemilu untuk pengisian anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Zainudin, ketentuan yang memungkinkan pemilu DPRD diselenggarakan antara 2 tahun hingga 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan presiden, wakil presiden, DPR, dan DPD, berpotensi melanggar konstitusi.
"Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa Pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Hal ini melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subjek lembaga yang diatur," tegas Zainudin kepada wartawan, dikutip dari detikNews, Rabu (2/7/2025).
Zainudin juga menyoroti inkonsistensi MK, mengingat putusan sebelumnya (No. 85/PUU-XX/2022) menyamakan Pilkada dengan Pemilu. PKS mendesak agar model keserentakan pemilu dikembalikan kepada pembentuk undang-undang melalui kebijakan hukum terbuka.
Baca Juga : Putusan MK Berpotensi Timbulkan Kekosongan Jabatan DPRD
Senada dengan PKS, DPP Partai NasDem melalui Anggota Majelis Tinggi Lestari Moerdijat, secara tegas menyebut putusan MK ini melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat. Jika putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini dijalankan, MK dinilai melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
"Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional," ujar Lestari dalam konferensi pers di NasDem Tower, Jakarta Pusat, dikutip dari detikNews, Senin (30/6/2025).
NasDem juga menuding MK telah memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang merupakan domain DPR RI dan Presiden. Mereka bahkan menyebut tindakan MK ini sebagai "pencurian kedaulatan rakyat" dan mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan resmi dari MK terkait tafsir konstitusi. "Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat. Partai Nasdem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” kata Lestari, seperti dilansir Kompas.com (2/7/2025).
Golkar dan PKB Suarakan Kekhawatiran Serupa
Reaksi keras juga datang dari Partai Golkar dan PKB. Wakil Ketua DPR RI dari Partai Golkar, Adies Kadir, mengungkapkan bahwa banyak pihak menyampaikan keluhan atas putusan MK ini. Ia khawatir putusan tersebut berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum.
"Hampir semua (mengeluhkan)," jelas Adies di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip dari Kompas.com, Selasa (1/7/2025).
Adies menyoroti Pasal 22E dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun. Ia juga mempertanyakan inkonsistensi MK yang sebelumnya pernah memutuskan keserentakan pemilu (Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019). "Putusan itu memberikan enam pilihan dan dipilih satu. Itu kan juga putusan MK yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam melaksanakan pemilu,” kata Adies, dikutip dari Kompas.com.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah. "Putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan lima tahun sekali. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar,” kata Cucun, dilansir Kompas.com.
Baca Juga : DPR RI dan Pemerintah Gelar Rapat Konsultasi Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Pemilu
PKB juga memperingatkan dampak dari masa transisi panjang akibat pemisahan jadwal pemilu terhadap jalannya pemerintahan. Cucun menegaskan tidak ada konflik antara DPR dan MK, namun mengingatkan MK sebagai penjaga konstitusi untuk tetap menjaga konstitusi.
PDI-P Masih Kaji Putusan MK
Berbeda dengan partai lainnya, PDI-P sebagai partai terbesar di DPR masih merumuskan sikap resminya terkait putusan MK tersebut. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Aria Bima, mengatakan bahwa partainya kini sedang melakukan kajian mendalam untuk menimbang implikasi hukum dan teknis penyelenggaraan pemilu jika putusan MK dijalankan. "PDI Perjuangan hari ini baru akan rapat menyikapi hal tersebut,” kata Aria Bima di Kompleks Parlemen, dikutip dari Kompas.com, Selasa (1/7/2025).
Pakar Hukum Tata Negara: Kenyamanan Parpol Terganggu
Menanggapi resistensi partai politik, Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi tersebut disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu. Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
Bivitri juga menepis anggapan bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional. Ia berpendapat bahwa apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara. "Jadi bukan, kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," kata Bivitri, seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (1/7/2025).
Baca Juga : MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Maksimal Jeda 2,5 Tahun
Latar Belakang Putusan MK:
MK memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden. Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Dengan banyaknya suara keberatan dari berbagai partai politik, apakah putusan MK ini akan memicu reformasi menyeluruh terhadap sistem kepemiluan di Indonesia, atau justru menimbulkan ketegangan baru antara lembaga negara? Perkembangan selanjutnya tentu akan menjadi perhatian publik.
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.
Kawendra Serahkan Naskah Pandangan Fraksi Gerindra, Renstra DPR...
Towa News | 02 Juli 2025, 18.10 WIB
Sufmi Dasco Ahmad: Partai Politik Masih Kaji Putusan...
Towa News | 02 Juli 2025, 13.22 WIB
Bela Pensiunan BUMN, Kawendra Lukistian: Pensiunan adalah Aset...
Towa News | 30 Juni 2025, 23.45 WIB
Putusan MK Berpotensi Timbulkan Kekosongan Jabatan DPRD
Towa News | 30 Juni 2025, 12.48 WIB
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani Ingatkan Menteri Tak Asal...
Towa News | 26 Juni 2025, 07.58 WIB
Sufmi Dasco Ahmad, Arsitek Stabilitas Politik di Balik...
Towa News | 21 Juni 2025, 12.19 WIB
Prabowo-Putin Bertemu di Rusia, Bahas Penguatan Kerja Sama...
Towa News | 19 Juni 2025, 19.24 WIB
Sikap Indonesia dalam Konflik Israel-Iran: Membaca Langkah Geopolitik...
Towa News | 19 Juni 2025, 11.23 WIB
Hashim Djojohadikusumo: Gerindra Satu-satunya Partai dengan Sayap Kristiani
Towa News | 18 Juni 2025, 23.33 WIB
Diplomasi di Tengah Transit: PM Ceko Temui Presiden...
Towa News | 18 Juni 2025, 12.18 WIB