Wakil Ketua Komisi XII DPR Kritik Kebijakan Menteri ESDM Soal Kelangkaan BBM di SPBU Swasta

Dipublish oleh Tim Towa | 19 September 2025, 14.43 WIB

Wakil Ketua Komisi XII DPR Kritik Kebijakan Menteri ESDM Soal Kelangkaan BBM di SPBU Swasta
Wakil Ketua Komisi XII DPR dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryadi,

Towa News, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XII DPR dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryadi, mengkritik keras kebijakan Kementerian ESDM yang dipimpin Bahlil Lahadalia terkait kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi di berbagai SPBU swasta.

Bambang mengingatkan kembali peristiwa kelangkaan BBM di SPBU swasta yang terjadi pada awal tahun ini. "Kelangkaan SPBU swasta pernah terjadi akhir Januari 2025 dikarenakan ada perubahan skema izin impor dari satu tahun menjadi tiga bulan. Dan ini terjadi sebelum kasus Pertamina meledak," kata Bambang seperti dikutip Kompas.com, Jumat (19/9/2025).

Anggota DPR asal Gerindra itu menjelaskan, pasca-kejadian di Pertamina, berdasarkan hasil rapat dengar pendapat (RDP) dengan seluruh SPBU swasta dan Pertamina pada awal Februari yang bertepatan dengan rilis kasus Pertamina, Kementerian ESDM akhirnya mengubah skema menjadi enam bulan dengan evaluasi setiap tiga bulan.

Kritik Kebijakan Impor Satu Pintu

Bambang mempertanyakan kebijakan Kementerian ESDM yang menerapkan sistem impor satu pintu. Dia menyoroti bahwa saat ini Pertamina sudah menguasai 95 persen penjualan retail melalui SPBU, sementara swasta hanya menguasai kurang dari 5 persen.

"Yang kita bingung dengan kebijakan ESDM adalah penerapan impor satu pintu untuk menjadikan Pertamina sebagai market leader. Padahal, Pertamina saat ini sudah menjadi market leader karena menguasai 95 persen penjualan retail melalui SPBU, dan hanya kurang 5 persen swasta," tutur Bambang seperti dilansir Kompas.com.

Lebih lanjut, Bambang mengkritik kewajiban SPBU swasta untuk membeli BBM ke Pertamina di tengah kondisi kelangkaan ini. Dia mengibaratkan situasi tersebut dengan analogi yang mudah dipahami.

"Kewajiban swasta membeli ke Pertamina sebenarnya juga aneh, karena Pertamina juga importir. Kecuali Pertamina memproduksi BBM berlebih dari kebutuhan yang ada. Ini ibarat sama-sama jualan nasi goreng. Penjual nasi goreng kecil (5 persen) diwajibkan beli beras ke penjual nasi goreng besar (95 persen). Padahal penjual nasi goreng besar juga sama-sama beli dari pasar, tidak memproduksi beras sendiri. Kebijakan seperti ini harus ditinjau ulang," tegas Bambang seperti dikutip Kompas.com.

Dampak Kontraproduktif Kebijakan

Menurut Bambang, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kementerian seringkali tidak memuat mitigasi dampak secara menyeluruh, sehingga menjadi kontraproduktif.

"Kasihan Presiden, kadang harus jadi pemadam kebakaran akibat hal-hal kecil yang sebenarnya tidak mengganggu keuangan negara," jelas Bambang.

Bambang juga menyoroti bahwa peningkatan kuota swasta yang terjadi saat ini sebenarnya bukan karena penambahan kebutuhan, melainkan akibat peralihan pasar dari Pertamina ke SPBU swasta setelah kasus yang menimpa Pertamina beberapa waktu lalu.

"Kalau alasannya kuota swasta naik, ini adalah akibat penurunan pembelian masyarakat ke Pertamina akibat kasus. Ada peralihan pasar, bukan penambahan kebutuhan," kata Bambang. 

SPBU swasta yang hanya menguasai 5 persen pasar dan menjual BBM non-subsidi kini menghadapi tantangan berat akibat kebijakan impor yang dinilai memberatkan mereka.

Sumber: Kompas.com

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video