Reformasi Politik 2025: Antara Harapan Publik dan Tantangan Struktural

Dipublish oleh Tim Towa | 26 Mei 2025, 09.30 WIB

Reformasi Politik 2025: Antara Harapan Publik dan Tantangan Struktural
Ilustrasi (Foto ANTARA/Melalusa Susthira K.)

Towa News, Jakarta - Pemerintah dan DPR kembali menggulirkan wacana reformasi politik pada Mei 2025, dengan fokus pada revisi sistem pemilu, ambang batas parlemen, dan tata kelola pendanaan partai politik. Langkah ini mendapat perhatian luas karena berkaitan langsung dengan kualitas demokrasi dan representasi rakyat.

Revisi UU Pemilu: Upaya Melawan Politik Uang

Praktik politik uang atau money politics telah lama menjadi penyakit kronis dalam sistem demokrasi Indonesia. Usai Pemilu 2024, wacana revisi UU Pemilu 2025 mengemuka sebagai upaya sistematis untuk memutus mata rantai praktik yang merusak integritas pemilu. Akademisi, penyelenggara pemilu, dan politisi sepakat bahwa tanpa perubahan regulasi yang tegas, politik uang akan terus menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. 

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, menyoroti bagaimana politik uang telah menjadi "kebiasaan" yang dinormalisasi masyarakat. "Masyarakat kini tak hanya menerima uang, tapi juga membandingkan ‘harga’ dari para calon," ujarnya di kutip dari Indonesia.go.id..

Fenomena itu, menurutnya, adalah buah dari sistem yang membiarkan praktik transaksional tumbuh subur. Meski edukasi penting, Gaffar menekankan bahwa revisi UU Pemilu 2025 harus menjadi fondasi utama untuk mengubah paradigma ini.

Pendapat berbeda disampaikan Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum UGM. Ia menegaskan bahwa akar masalah politik uang terletak pada pelaku politik, bukan masyarakat. "Tanpa supplier, tak akan ada buyer. Perketat aturan bagi politisi, bukan salahkan rakyat yang terdesak ekonomi," tegasnya.di kutip dari Indonesia.go.id.

Zainal mendorong revisi UU untuk memasukkan sanksi lebih berat, termasuk pidana dan denda progresif, bagi kandidat yang terbukti membeli suara.

Ambang Batas Parlemen: Antara Efektivitas dan Representasi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal 2025 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden disambut gembira oleh berbagai pihak. Namun, ketika wacana penghapusan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) muncul sebagai kelanjutan dari keputusan tersebut, suasana berubah. Sebagian pihak berpendapat ambang batas parlemen tetap diperlukan demi menjaga efektivitas pemerintahan serta menghindari fragmentasi politik di parlemen. Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun, menyatakan bahwa ambang batas parlemen merupakan wujud kompromi antara inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan.

Namun, pihak lain menilai bahwa ambang batas parlemen mengakibatkan jutaan suara hilang karena tak semua partai bisa meraih kursi di DPR. Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, menyatakan bahwa penghapusan ambang batas parlemen dapat meningkatkan representasi politik dan memperdalam demokrasi.

Pendanaan Partai Politik: Transparansi dan Akuntabilitas

Transparency International Indonesia (TII) menyoroti wacana terbaru dari Kementerian Dalam Negeri yang mempertimbangkan untuk mengizinkan partai politik memiliki badan usaha. Saat ini, partai politik di Indonesia dilarang secara tegas mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha dalam rangka mencegah konflik kepentingan. Apabila ketentuan ini diubah, maka partai politik berisiko menyalahgunakan kekuasaan pembentukan kebijakan publiknya untuk kepentingan bisnis partai dan menghasilkan state capture corruption

Sebaliknya, Indonesia masih berada pada skor CPI 37 (2024), dengan tren stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik menjadi cerminan dari minimnya transparansi informasi keuangan dan lemahnya akuntabilitas dalam penggunaan dana publik. TII merekomendasikan revisi UU Partai Politik untuk memperkuat jaminan transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik, termasuk kewajiban laporan keuangan partai politik dan pembukuan sumbangan yang terperinci wajib diunggah setiap tahunnya di website partai politik dalam format data terbuka Di kutip dari Transparency International Indonesia

Melawan Oligarki: Tantangan Struktural Demokrasi

Fenomena politik dinasti dan dominasi oligarki dalam sistem politik Indonesia menjadi perhatian serius. Dalam pola ini, kekuasaan dijalankan oleh jaringan keluarga, kroni politik, dan korporasi besar yang bekerja sama saling menguntungkan. Mereka tidak hanya menyusup ke dalam partai-partai politik, tetapi juga membajak institusi negara, termasuk lembaga hukum dan pengawas demokrasi. Jika konstitusi bisa ditundukkan demi satu orang, maka tidak ada jaminan bahwa di masa depan hukum tidak akan diubah untuk melayani kepentingan pribadi lain — siapa pun yang dekat dengan kekuasaan. (Suara Nasional)

Peneliti LP3ES, Fachru Nofian, mengaitkan permasalahan oligarki dengan tantangan ekonomi Indonesia. Fachru menekankan bahwa dominasi oligarki di Indonesia tak hanya merusak politik, tetapi juga menghambat perekonomian.

"Oligarki ini menjadi tantangan besar dalam ekonomi Indonesia. Salah satu solusinya adalah melalui industrialisasi domestik yang dapat memberdayakan UMKM dan mengurangi ketergantungan pada kekuatan elit," kata Fachru di kutip dari LP3ES - Jakarta.

Reformasi politik yang tengah digulirkan pada Mei 2025 mencerminkan upaya serius untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, tantangan struktural seperti praktik politik uang, ambang batas parlemen, pendanaan partai politik yang tidak transparan, dan dominasi oligarki masih menjadi hambatan besar. Diperlukan komitmen bersama dari pemerintah, DPR, partai politik, dan masyarakat sipil untuk mewujudkan reformasi politik yang sejati dan berkelanjutan.


Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Towa.co.id.

Ikuti Sosial Media Kami:

X Logo Snack Video